Yen Berkisah: Kampungku Berau
Namaku Yen. Kampung halamanku di Kabupaten Berau, tepatnya di ibu kotanya: Tanjung Redeb, yang mungkin saat itu belum pantas disebut kota karena begitu kecilnya. Semua orang Berau saling mengenal berkat ukurannya yang mini dan suasana kampung yang akrab. Kami juga punya Sultan. Kapan-kapan aku akan ceritakan mengenai Sultan dan Pangeran dan Putri di Berau.
Beberapa langkah dari rumahku ada sungai deras mengalir, bersih dan jernih seperti semua sungai di Kalimantan saat pulau besar ini masih pantas disebut paru-paru dunia. Kami anak-anak kecil suka berenang di sana, yang perempuan dengan baju lengkap dan rok lebar yang berfungsi sebagai semi-pelampung. Maklum, mana ada baju renang saat itu. Baju kami saja adalah jahitan Mama sendiri, satu atau dua baju untuk dipakai setahun. Gaya renang kami? Gaya suka-suka dan siap kabur dari sungai jika terlihat ada buaya hendak melintas.
Sungai deras mengalir. Dekat hutan paru-paru dunia. Mungkin kamu bayangkan betapa nyamannya kampung halamanku. Jangan lupa, kampungku di dekat khatulistiwa. Panas menyengat sepanjang siang. Makanya kami suka berenang. Meskipun ada buaya.
Aku lahir tahun 1951 di Berau. Anak keempat dari sembilan bersaudara. Indonesia belum lama merdeka. Tapi aku tidak begitu mengerti artinya. Cuma dari cerita-cerita Papa dan Mama aku tahu kejamnya Jepang dan betapa senangnya semua orang ketika Jepang diusir. Betapa semua orang memuja Soekarno. Meskipun tidak lama kemudian giliran kami orang Tionghoa yang mengalami kesulitan.
Rumah kami bentuknya rumah panggung. Di bawah rumah kami memelihara banyak ayam dan bebek. Betapa tidak higienisnya kehidupan kami dulu, tinggal di atas kerumunan ayam dan bebek. Anehnya kami sehat. Orang-orang tua mati dengan tenang, dengan tiba-tiba, tanpa harus merana di ranjang rumah sakit seperti sekarang. Orang-orang muda mati kecelakaan saat disergap buaya atau saat melaut. Mungkin karena kehidupan kami dulu alami dan sehat? Itu kata orang. Tapi aku curiga dulu orang tiba-tiba mati karena tidak tahu dan tidak mengobati penyakitnya, karena dulu ilmu kedokteran belum maju.
Kami juga punya lusinan kucing dan burung dara. Sekarang orang takut pelihara kucing karena takut tidak bisa hamil atau terjangkit virus tokso. Heran sekali dulu kucing-kucing kami, yang tentu saja tidak pernah divaksinasi, tidak pernah menghambat kehamilan. Para wanita di keluarga kami lancar sekali melahirkan anak-anak yang sehat. Mungkin di Kalimantan tidak ada virus tokso. Mungkin.
Sudah aku bilang namaku Yen? Ijinkan sedikit demi sedikit kutuliskan ingatanku akan hidupku, dan pengamatanku akan hidup sebagai keturunan perantau di negeri orang, yang sudah kuadopsi menjadi negeriku. Atau negeri ini yang mengadopsiku? Ya. Mungkin.
Catatan penulis:
Yen Berkisah didasarkan pada kehidupan nyata.
Huruf A itu Berau. Dekat hidungnya Om Kalimantan. Diklik aja gambarnya supaya besar. Gambar dari Google Maps. |
Beberapa langkah dari rumahku ada sungai deras mengalir, bersih dan jernih seperti semua sungai di Kalimantan saat pulau besar ini masih pantas disebut paru-paru dunia. Kami anak-anak kecil suka berenang di sana, yang perempuan dengan baju lengkap dan rok lebar yang berfungsi sebagai semi-pelampung. Maklum, mana ada baju renang saat itu. Baju kami saja adalah jahitan Mama sendiri, satu atau dua baju untuk dipakai setahun. Gaya renang kami? Gaya suka-suka dan siap kabur dari sungai jika terlihat ada buaya hendak melintas.
Sungai deras mengalir. Dekat hutan paru-paru dunia. Mungkin kamu bayangkan betapa nyamannya kampung halamanku. Jangan lupa, kampungku di dekat khatulistiwa. Panas menyengat sepanjang siang. Makanya kami suka berenang. Meskipun ada buaya.
Aku lahir tahun 1951 di Berau. Anak keempat dari sembilan bersaudara. Indonesia belum lama merdeka. Tapi aku tidak begitu mengerti artinya. Cuma dari cerita-cerita Papa dan Mama aku tahu kejamnya Jepang dan betapa senangnya semua orang ketika Jepang diusir. Betapa semua orang memuja Soekarno. Meskipun tidak lama kemudian giliran kami orang Tionghoa yang mengalami kesulitan.
Rumah kami bentuknya rumah panggung. Di bawah rumah kami memelihara banyak ayam dan bebek. Betapa tidak higienisnya kehidupan kami dulu, tinggal di atas kerumunan ayam dan bebek. Anehnya kami sehat. Orang-orang tua mati dengan tenang, dengan tiba-tiba, tanpa harus merana di ranjang rumah sakit seperti sekarang. Orang-orang muda mati kecelakaan saat disergap buaya atau saat melaut. Mungkin karena kehidupan kami dulu alami dan sehat? Itu kata orang. Tapi aku curiga dulu orang tiba-tiba mati karena tidak tahu dan tidak mengobati penyakitnya, karena dulu ilmu kedokteran belum maju.
Kami juga punya lusinan kucing dan burung dara. Sekarang orang takut pelihara kucing karena takut tidak bisa hamil atau terjangkit virus tokso. Heran sekali dulu kucing-kucing kami, yang tentu saja tidak pernah divaksinasi, tidak pernah menghambat kehamilan. Para wanita di keluarga kami lancar sekali melahirkan anak-anak yang sehat. Mungkin di Kalimantan tidak ada virus tokso. Mungkin.
Sudah aku bilang namaku Yen? Ijinkan sedikit demi sedikit kutuliskan ingatanku akan hidupku, dan pengamatanku akan hidup sebagai keturunan perantau di negeri orang, yang sudah kuadopsi menjadi negeriku. Atau negeri ini yang mengadopsiku? Ya. Mungkin.
Catatan penulis:
Yen Berkisah didasarkan pada kehidupan nyata.
Comments
Post a Comment